PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
ISLAM
DI LEMBAGA FORMAL DAN NON FORMAL (MTs MA’ARIF
NU 01 GANDUNGMANGU DAN MADRASAH DINIYAH DI
PONPES ATH-THOHIRIYYAH KARANGSALAM PURWOKERTO )
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas terstrktur
mata kuliah apita Selekta Pendidikan
Islam
Dosen pengampu Rahman Afandi, M. S. I.
Disusun oleh
Idaur Rohmah 1423305239
JURUSAN
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikna
dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib,
dan tadris. [1]
sumber pendidikan Islam adalh semua acuan atau rujukan yang dirinya memancarkan
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam
pendidikan Islam. Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan
Langgulung, sember pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu All-qur’an,
As-sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabi), kemaslahatan umat/ social
(mashalil al-mursalah), tradisi atau adat kebiasaan (‘uruf), dan hasil
pemikiran para ahli dalam Islam (Ijtihad).
Lembaga
pendidikan Islam terbagi menjadi tiga, yaitu lembaga formal, lembaga Informal,
dan nonformal. Dalam pendidikan Islam era modern ini banyak ditemukan
problematika-problematika di dalamnya yang perlu mendapat perhatian.
Munculnya
sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan proses
pembelajaran, tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama
ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif
saja. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi,
maka tidak heran ketika banyak dijumpai anak yang menadapat niai bagus dalam
mata pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan prilaku keseharian
cenderung menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaiman a disebutkan
oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di
sekolah kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi
yang dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang
lain, yaitu hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya
tidak hanya dalam hal kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada
praktisi, supaya ajaran agama yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung
dalam berprilaku sehari-hari.
Di
dalam makalah ini akan dibahas tentang problematika pendidikan Islam formal dan
non formal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan madrasah diniyah pondok
pesantren Athohiriyyah Karangsalam- Purwokerto.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Pendidikan Islam?
2. Bagaimana
tugas, fungsi dan tujuan pendidikan Islam?
3. Apa
pengertian problematika pendidikan Isam?
4. Bagaimana
problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal dan nonformal di MTs Ma’arif
NU 01 Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui apa Pengertian Pendidikan Islam.
2. Untuk
mengetahui bagaimana tugas, fungsi dan tujuan pendidikan Islam.
3. Untuk
mengetahui apa pengertian problematika pendidikan Islam.
4. Untuk
mengetahui bagaimana problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal dan
nonformal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah
Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
Ilmu
pendidian Islam adalah Ilmu pendidikan yang berdasrkan Islam. Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berisi seperangkat ajaran
tentang kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasrkan dan bersumber pada
Al-Qur’am dan Al-Hadits, serta akal.[2]
Pendiidikan
Islam dapat dirumuskan dalam beberapa istilah, yaitu tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan tadris. Tarbiyah
dapat diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik ke
peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami
dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan
kepribadian yang luhur”. Ta’lim sebagian para ahli menerjemahkan istilah
tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran.
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan “proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”.
Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah SWT dal QS Al-Baqarah ayat 31. Ta’dib
lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tatkrama, adab, budi
pekeri, akhlak, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti
pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orang yang berpendidikan adalah
orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih
melalui pendidikan. [3]
B.
Tugas,
Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
1.
Tugas
pendidikan Islam
Tugas
pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tanpa batas. Hal ini karena haikat
pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus
universal yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Pendidikan yang terus
menerus dikenal dengan istilah “min al madi ila al lahd” (dari buaian sampai
liang lahad) atau dalam istilah lain “life
long education” (pendidikan sepanjang hayat).
Menurut
Ibnu Taimyah sebagaiman dikutip oleh Majid “irsan al-Kaylani” tugas pendidikan
islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid, dan
pendidikan tabiat peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian
pemahaman terhadap dua kalimat Syahadat. Sedangkan pendidikna pengembangan
tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan
penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untk
beribadah.
Untuk
menelaah tugas-tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari iga pendekatan,
yaitu: (1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi, (2) pendidikan
dipandang sebagai pewarisan budaya, (3) pendidikan dipandang sebagai interaksi
antara pengembnagan potensi dan pewarisan budaya. [4]
2.
Fungsi
pendidikan Islam
Fungsi
pendidikan Islam adalah menyiapkan segala fasilitas yang dapat memunginkan
tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjaan dengan lancer.
Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktura dan
institusional.
Arti
dan tujuan srtuktur adallah menunut terwujudnya struktur organisasi pendidikan
yang mengatur jalannya proses kependidikan baik dilihat dari segivertikal
maupun horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional
(saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan.
Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses
kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk
menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisiten dan berkesinambungan
yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia yang cenderung ke arah
tingkat yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis an jalur
kepemdidikan yang formal, informal, dan non formal dalam masyarakat.
Menurut
Khursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
a. Alat
untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan,
nilai-nilai dan tradisi dan sosoial, seta ide-ide masyarakat dan bngsa.
b. Alat
untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan yangs ecara garis
besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih
tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan
social dan ekonomi.[5]
3.
Tujuan
Pendidikan Islam
Tujuan
merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang
akan dilalui dan merupkan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di
samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat
terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat
memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan. Perumusan tujuan
pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi
beberapa aspek, diantaranya: pertama, tujuan
dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia
diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (QS Ali Imran: 191).
Tujuan menciptakan manusia hanya untuk
mengabdi kepada Allah SWT. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya
ia mampu meralisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah SWT. Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar manusia. Yaitu konsep manusia
sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan, sifat fitrah,
bakat, minat, dan karakter yang berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS
al-Kahfi: 29). Ketiga, tuntutan
masyarakat. Tuntutan ini bai berupa nilai-nilai pelestarian budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan masyarakat, maupun pemenuhan terhadap kebutuhan dalam
mengantisipasi perkembangan dunis modern. Keempat,
dimensi nilai-nilai kehidupan Islam. Dimensi nilai kehidupan Islam
mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk
mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupn di akhirat. [6]
Al-Abrassy
merinci tujuan akhir pendidikan Islam mnjadi:
1. Pendidikan
Akhlak;
2. Menyiapkan
anak didik untuk hidup di dunia dan di akhirat;
3. Penguasaan
ilmu;
4. Ketrampilan
bekerja dalam masyarakat.[7]
C.
Problematika
Pendidikan Islam
Pendidikan
Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga
hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan
lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam
sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran
yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni
ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian,
pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini.
Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
1.
Faktor
Internal
a.
Relasi
Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam.
Tujuan
pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau
mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu
menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan
kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini
diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan
tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan, sebagaimana
yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini
menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah
tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat Indonesia. Hal ini patut
untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif,
dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan
yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan
cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan
social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.
b.
Masalah
Kurikulum.
Sistem
sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter
yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak
“atas”. Dalam sistem yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan
muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem
manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan
manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa
kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga
seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata
pelajaran. Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum
Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun
paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena
berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang
teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual
sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan
motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam.
(2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara
berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau
hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau
metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola
pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar
dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan
yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk
mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.
c.
Pendekatan/
Metode Pembelajaran.
Peran
guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi
siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru,
memotivasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola
pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang
tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam
arus perkembangan zaman. Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak
memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam
ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis
membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal
tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang
diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih
sederhana dan tidak ada tantangan untuk berpikir.
d.
Profesionalitas
dan Kualitas SDM.
Salah
satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde
Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai.
Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah
cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi
harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan
masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga
mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar kualitatif.
e.
Biaya
Pendidikan.
Faktor
biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor Eksternal
a.
Dichotomic.
Masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa
aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara
antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat
julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b.
To
General Knowledge.
Kelemahan
dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih
terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah
(problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan
kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas
menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berpikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
c.
Lack of Spirit of Inquiry.
Persoalan
besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah
rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas
merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam,
Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat
intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran
Islam di Timur Tengah.
d.
Memorisasi.
Rahman
menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa,
karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu
yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan
dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman
yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir
hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya
yang pada dasarnya orisinal.
e.
Certificate
Oriented.
Pola
yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu
adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada
masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak
konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar
sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa
sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge
oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya
merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja,
sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.
D.
Problematika
pendidikan Islam dalam lembaga formal dan nonformal di MTs Ma’arif NU 01
Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto
1.
Problematika
pendidikan Islam dalam lembaga formal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu
MTs
Maarif NU 01 Gandrungmangu yang berada di jalan Jenderal Soedirman No.30
Gandrungmangu. Sekolah ini mempunyai dua gedung. Gedung 1 untuk kelas VII dan
gedung 2 untuk kelas VII & IX.
Visi dan Misi MTs
Ma’arif NU 01 Gandrungmangu:
Visi:
Terwujudnya generasi Islam yang tekun beribadah dan unggul dalam berprestasi
Misi:
mengembangkan profesionalisme pelaku pendidik dengan meningkatkan pendidikan
yang berciri khas keagamaan sehingga mampu bertindak arif dan bijaksana.
Gedung 1
Gedung
ini berada di barat Balai Desa Gandrungmanis, sekitar 300 meter ke barat dari
arah Puskesmas Gandrungmanis. Gedung 1 ini mempunyai banyak sejarah. Pada awal
berdiri entah tahun berapa, hanya ada satu bangunan dan itu pun untuk ruang
belajar. Sementara ruang guru berada di salah satu rumah warga setempat.
Namun
sekarang gedung 1 sudah banyak perubahan. Sekarang gedung ini sudah mempunyai 8
ruangan, 6 ruang untuk kelas belajar, 1 kelas untuk ruang guru, dan 1 kelas
lagi untuk perpustakaan.
Gedung 1
Gedung
2
Gedung
ini berada di selatan Puskesmas Gandrungmanis, sekitar 500 meter ke arah
seltan dari Puskesmas. Pada awal di bangun, sekitar tahun 2005, dedung ini
mempunyai 12 ruang belajar (6 ruang untuk kelas VIII dan 6 ruang untuk kelas
IX), 2 ruang guru, 1 ruang klinik, 1 Lab. Computer, 1 Lab. Ipa, 2 ruang guru, 1
mushola, dan 4 wc putra putri. Gedung untuk kelas IX berada di sebelah barat
yaitu gedung berlantai dua.
Gedung
2
Ekstra kulikuler
Di
MTs Maarif NU 01 Gandrungmangu, terdapat berbagai ekstra kulikuler, yaitu:
Hari
senin: Ekskul Komputer denga guru
pembimbing Ibu Laelatul Istiqomah, s.kom.
Hari
selasa: Ekskul Tae Kwo Do dengan pembimbing Sabem dari SMP N1 Gandrungmangu,
SMK Boedi Oetomo 2, dan sabem dari daerah lain.
Hari
rabu: Ekskul Marawis Hadroh dengan guru
pembimbing Bpk. Faisol Ghozi, s.pd.si
Hari
kamis: Ekskul Drum Band dengan guru pembimbing Bpk. A. Dwi Santosa, A.Md.
Hari
jumat: Ekskul Pramuka dengan guru pembimbing Bpk. Muhtamil Fikri, A.Ma. dan Ibu
Sri Darningsih, S.Pd.Ing.
Hari
sabtu: Ekskul MTQ dengan pembimbing Ibu Masngudah.
Kegiatan Intra
Sekolah
Kegiatan
ini adalah kegiatan dari dalam sekolah yaitu OSIS dengan pembimbing Bpk.
Nurrohim.
BEBERAPA
FOTO TENTANG KEGIATAN DI MTs MAARIF NU 01 GANDRUNGMANGU.
Pramuka
Drum Band
OSIS
Berdasarkan observasi yang
dilakukan oleh penulis pada hari selasa tanggal 4 April 2017 dengan nara sumber
guru, diantaranya bapak Nurrohim, M. Pd. I dan bapak Imrorrurrohman S. Pd. I. penulis
memperoleh hasil bahwa di Madrasah tersebut ditemukan berbagai problem,
diantaranya:
a. Sarana Prasarana,
di Madrasah tersebut sarana prasarana untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
masih minim. Didapati di Madrasah tersebut hanya memiliki 1 LCD proyektor yang
digunakan bergantian. Juga masalah gedung yang terpisah tempatnya tidak menjadi
satu membuat guru bolak balik dengan memakan waktu dan kurang efektis dan
efisisen.
b. Kualitas Pembelajaran, pembelajaran
yang efektif khususnya materi pendidikan Islam yang menjadi keunggulan bagi
madrasah sudah hamper terpenuhi, akan tetapi belum secara maksimal dikarenakan
masih banyak guru yang belum mengindahkan pentingnya strategi, motode dalam
pembelajaran.
c. Motivasi siswa dalam
belajar, masih kuranganya motivasi sisiwa dalam
mengikuti dan mengembangkan berbagai prestasi belajar, sehingga dalam
pembelajaran siswa cenderung kurang semangat walaupun hanya beberapa saja yang
demikian.
2.
Problematika
pendidikan Islam dalam lembaga nonformal Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah
Karangsalam Purwokerto
Seiring
dengan tumbuh kembangnya Madrasah Diniyah di desa-desa, sebuah kelompok kursus Bahasa
Arab kita menjelma menjadi Madrasah Diniyah Al-Mustaqbal (At-thohiriyah Ath-Thohiriyyah).
Ini terjadi di dusun Parakanonje,
desa Karangsalam, Kecamatan Banyumas, Kabupaten
Banyumas Purwokerto. Ini berarti bahwa jumlah Madin Awaliyah di Kabupaten
Banyumas bertambah, yang menurut laporan Kasi RUA Islam setempat hingga akhir
1990 baru 61 buah. Bila idialnya dalamsetiap desa ada sebuah Madin, maka di
Kabupaten Banyumas dengan jumlah desanya yang lebih 300, berarti masih banyak
desa yang belum ada Madrasah Diniyah.
Pada
mulanya adalah sebuah kegiatan kursus Bahasa Arab untuk anak-anak yang belajar
mengaji Al-Qur’an di rumah Ustadz Juwaini, yang jumlahnya tidak seberapa
banyak. Tapi setelah berjalan beberapa waktu dan kemudian ditingkatkan menjadi
Madrasah Diniyah Awaliyah para pengngelola menjadi kewalahan karena jumlah yang
semula hanya puluhan membengkak menjadi 400 anak. Untukmenampung animo masyarakat
itu, para pengurus itu akhirnya mengambil langkah-langkah yang perlu,
sepertimengatur kelas-kelas darurat, menyeleksi tingkat peserta didik dan
lain-lain.
Sebenarnya
di desa itu sudah pernah ada Madrasah Diniyah tapi sudah hapir lima tahun
terakhir kegiatan itu hilang dari peredaran. Entah apa sebabnya lembaga tempat
belajar agama sore hari untuk anak-anak itu kemudian tiada kabar beritanya.
Padahal orang tua merasa terbantu oleh adanya Madrasah Diniyah itu. Mereka
merasakan besar manfaatnya Madin. Disamping anak-anak sepulang dari SD, sore
harinya mereka berkesempatan menambah pelajaran agama, tapi waktu sore tidak
muspro untuk main-main saja.
Muncul
ide untuk menarik minat anak-anak agar lebih giat mengaji, maka sejak 5 Oktober
1989 dirintis adanya Kursus Bahasa Arab oleh sejumlah remaja setempat. Kegiatan
kursus tersebut diadakan di rumah Ustadz Juwaini, seorang tokoh yang ada di
Karangsalam. Kiprah anak-anak muda itu tidak mleset, kursus Bahasa Arab yang
diadakan semula dengan “coba-coba” itu benar-benar telah menarik minat
anak-anak yang ternyata masih tinggi minat untuk belajar mengaji. Mereka masuk
kursus itu sama dengan belajar di Madrasah Diniyah yang selama ini mereka
rindukan.
Pada
awalnya kegiatan itu hanya diikuti oleh 30 anak, dan mereka masuknya hanya dua
kali(maksudnya 2 hari) dalam seminggu. Kepada mereka disamping mereka diberikan
pelajar dasar Bahasa Arab, juga juga diberikan pelajaran beribadah sepeti doa
wudlu, shalat, membaca shalawat dan ditambah pelajaran dasar bahasa Inggris.
Dari hari ke hari pesertanya kian bertambah, dan sekalipun rumah Ustadz Juwaini
tidak bias lagi menampung tapi pihak penggelola tidak bias menolak.
Ketika
pesertanya makin membengkak menjadi 60 orang anak, pihak pengngelola semakin
ditantang pengetahuannya. Tempat belajar yang selama ini numpang di rumah
Ustadz Juwaini, harus mencari tempat lain. Ini pertanda seberapa jauh dukungan
masyarakat terhadap kegiatan pengajian tersebut.
Pindah
ke Masjid bersamaan dengan meluapnya semangat anak-anak untuk ngaji, para tokoh
khususnya para pemuka agama desa Karangsalam mulai memikirkan masa depan
kegiatan belajar mengajar diserahakan kepada pengngelola untuk diatur dan
dilakukan pentaan seperlunya, diantaranya minta petunjuk ke Kantor Depag
Kabupaten atau Penilik Pendidikan Agama Islam Kecamatan setempat. Sedang
masalah tempat dan kemungkinan mendirikan bangunan Madrasah menjadi pemikiran
Kyai dan masyarakat setempat.
Begitulah,
ketika pemintanya terus meluap karena tidak hanya anak-anak dari desa Karangsalam
saja tetapi juga dari desa sekitar, dua rumah yang selama ini dijadikan tempat
belajar sudah tidak mampu lagi menampung. Bagaimana jalan keluar?
Atas
saran KH. Thoha Alawy, takmir Masjid Jamik Parakanonje kegiatan tersebut
dipindah ke masjid muali tanggal 20 Mei 1990. sekalipun belum memenuhi syarat
pendidikan yang klasikal, tapi menempatkan di masjid memang lebih luas.
Pesertanyapun memang labih berkembang pula hingga mencapai 400 anak yang ada
dipisah menjadi lima kelas.
Apa
yang menjadi pemikiran para kyai dan tokoh masyarakat setempat, alhamdulillah
secara bertahap dapat diwujudkan. Pada 10 Maret 1991 telah dilakukan peletakan
batu pertama pembangunan gedung Madrasah Diniyah Ath-Thohiriyyah
“Al-Mustaqbal”. Upacara sederhana itu disaksikan oleh pejabat dan sesepuh
tingkat desa dan Kecamatan. Diharapkan usaha gotong royong masyarakat itu akan
segera berhasil menenmpatkan murid-murid Madin “Al-Mustaqbal” ke kelas yang
memadahi. Dan selanjutnya akan dilakukan pembenahan di bidang kurikulum untuk
menyesuaikan dengan Keputusan Menteri Agama No 3 Tahun 1983 tentang kurikulum
Madrasah Diniyah.
Berdasarkan
observasi yang telah dilakukan pada hari senin 3 April 2017 melalui nara sumber
yaitu mba Dian Furhati yang merupakan pengurus dalam beidang pendidikan khususnya
Madrasah Diniyah, diperoleh bahwa di madrsah diniyah pondok tersebut mempunyai
beberapa problem, diantaranya:
a.
Sarana
Prasarana, masih kurangnya sarana prasarana
untuk menunjang pembelajaran di Madrasah tersebut, seperti perpustakaan yang kitab-kitabnya
belum kompit, tidak terjangkaunya toko kitab yang lengkap karena untuk membeli
kitab yang digunakan dalam pembelajaran terkadang harus membeli di Jawa Timur.
b.
Ustadz/
Pendidik, ustadz di madrasah tersebut ada beberapa
yang di laju dari rumahnya yang jauh seperti Purbalingga, Ajibarang, Kesugihan.
Sehingga kurang efektif pembelajaran tersebut apabila Ustadz terlambat atau
bahkan tidak hadir.
c.
Santri/
Peserta didik, dikarenakan jadwal kegiatan santri
dari pagi ada yang sekolah maupun kuliah menjadikan beberapa santri ketika
jadwal mengaji di madrasah kurang vit, ada yang mengantuk, dll.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
pendidikan Islam adalah Ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berisi seperangkat ajaran
tentang kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasrkan dan bersumber pada
Al-Qur’am dan Al-Hadits, serta akal.
Tugas
pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tanpa batas. Hal ini karena haikat
pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus
universal yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya
Fungsi
pendidikan Islam adalah menyiapkan segala fasilitas yang dapat memunginkan
tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjaan dengan lancar. Pendidikan
Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem
pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan Islam tidak luput dari
problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam
problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Di Madrasah Tsanawiyah Ma’arif NU
01 Gandrungmangu ditemukan berbagai problem, diantaranya:
a. Sarana Prasarana,
b. Kualitas Pembelajaran,
c. Motivasi siswa dalam
belajar
Madrasah Diniyah podok pesantren
Ath-Thihiriyyah mempunyai beberapa problem, diantaranya:
a.
Sarana
Prasarana,
b.
Ustadz/
Pendidik,
c.
Santri/
Peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib, Abdul, Dkk. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya
[1] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006). Hlm 10.
[2] Ahmad tafsir. Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Hlm. 12.
[3] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam,… Hlm 12-20.
[4] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam,… Hlm. 51-52.
[5] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam,… Hlm. 68-69.
[6] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu
Pendidikan Islam,… Hlm. 71-72.
[7] Ahmad tafsir. Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam,…. Hlm. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar