Selasa, 02 Mei 2017

Idaur Rohmah 1423305239 MTS Ma'arif NU 01 Gadrung Cilacap & Madrasah Diniah Pondok Pesantren AT-Tohiriah Purwokerto

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM
 DI LEMBAGA FORMAL DAN NON FORMAL (MTs MA’ARIF NU 01 GANDUNGMANGU DAN MADRASAH DINIYAH DI  PONPES ATH-THOHIRIYYAH KARANGSALAM PURWOKERTO )



Makalah
Disusun guna memenuhi tugas terstrktur
mata kuliah apita Selekta Pendidikan Islam
Dosen pengampu Rahman Afandi, M. S. I.
Disusun oleh
Idaur Rohmah           1423305239


JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PURWOKERTO
2017

 


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pendidikna dalam wacana keislaman lebih popular dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan tadris. [1] sumber pendidikan Islam adalh semua acuan atau rujukan yang dirinya memancarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan ditransinternalisasikan dalam pendidikan Islam. Menurut Sa’id Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung, sember pendidikan Islam terdiri atas enam macam, yaitu All-qur’an, As-sunnah, kata-kata sahabat (madzhab shahabi), kemaslahatan umat/ social (mashalil al-mursalah), tradisi atau adat kebiasaan (‘uruf), dan hasil pemikiran para ahli dalam Islam (Ijtihad).
Lembaga pendidikan Islam terbagi menjadi tiga, yaitu lembaga formal, lembaga Informal, dan nonformal. Dalam pendidikan Islam era modern ini banyak ditemukan problematika-problematika di dalamnya yang perlu mendapat perhatian.
Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran,  tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif saja. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi, maka tidak heran ketika banyak dijumpai anak yang menadapat niai bagus dalam mata pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan prilaku keseharian cenderung menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaiman a disebutkan oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di sekolah kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, yaitu hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak hanya dalam hal kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya ajaran agama yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku sehari-hari.
Di dalam makalah ini akan dibahas tentang problematika pendidikan Islam formal dan non formal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan madrasah diniyah pondok pesantren Athohiriyyah Karangsalam- Purwokerto.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana tugas, fungsi dan tujuan pendidikan Islam?
3.      Apa pengertian problematika pendidikan Isam?
4.      Bagaimana problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal dan nonformal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa Pengertian Pendidikan Islam.
2.      Untuk mengetahui bagaimana tugas, fungsi dan tujuan pendidikan Islam.
3.      Untuk mengetahui apa pengertian problematika pendidikan Islam.
4.      Untuk mengetahui bagaimana problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal dan nonformal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto.












BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pendidikan Islam
Ilmu pendidian Islam adalah Ilmu pendidikan yang berdasrkan Islam. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasrkan dan bersumber pada Al-Qur’am dan Al-Hadits, serta akal.[2]
Pendiidikan Islam dapat dirumuskan dalam beberapa istilah, yaitu  tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan tadris. Tarbiyah dapat diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semangat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur”. Ta’lim sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran. Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu”. Pengertian ini didasarkan pada Firman Allah SWT dal QS Al-Baqarah ayat 31. Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tatkrama, adab, budi pekeri, akhlak, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan. Artinya, orang yang berpendidikan adalah orang yang berperadaban, sebaliknya peradaban yang berkualitas dapat diraih melalui pendidikan. [3]

B.  Tugas, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
1.    Tugas pendidikan Islam
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tanpa batas. Hal ini karena haikat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Pendidikan yang terus menerus dikenal dengan istilah “min al madi ila al lahd” (dari buaian sampai liang lahad) atau dalam istilah lain “life long education” (pendidikan sepanjang hayat).
Menurut Ibnu Taimyah sebagaiman dikutip oleh Majid “irsan al-Kaylani” tugas pendidikan islam pada hakikatnya tertumpu pada dua aspek, yaitu pendidikan tauhid, dan pendidikan tabiat peserta didik. Pendidikan tauhid dilakukan dengan pemberian pemahaman terhadap dua kalimat Syahadat. Sedangkan pendidikna pengembangan tabiat peserta didik adalah mengembangkan tabiat itu agar mampu memenuhi tujuan penciptaannya, yaitu beribadah kepada Allah SWT dan menyediakan bekal untk beribadah.
Untuk menelaah tugas-tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari iga pendekatan, yaitu: (1) pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi, (2) pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya, (3) pendidikan dipandang sebagai interaksi antara pengembnagan potensi dan pewarisan budaya. [4]

2.    Fungsi pendidikan Islam
Fungsi pendidikan Islam adalah menyiapkan segala fasilitas yang dapat memunginkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjaan dengan lancer. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktura dan institusional.
Arti dan tujuan srtuktur adallah menunut terwujudnya struktur organisasi pendidikan yang mengatur jalannya proses kependidikan baik dilihat dari segivertikal maupun horizontal. Faktor-faktor pendidikan bisa berfungsi secara interaksional (saling mempengaruhi) yang bermuara pada tujuan pendidikan yang diinginkan. Sebaliknya, arti tujuan institusional mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu dilembagakan untuk menjamin proses pendidikan yang berjalan secara konsisiten dan berkesinambungan yang mengikuti kebutuhan dan perkembangan manusia yang cenderung ke arah tingkat yang optimal. Oleh karena itu, terwujudlah berbagai jenis an jalur kepemdidikan yang formal, informal, dan non formal dalam masyarakat.
Menurut Khursyid Ahmad, yang dikutip Ramayulis, fungsi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a.       Alat untuk memelihara, memperluas, dan menghubungkan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai dan tradisi dan sosoial, seta ide-ide masyarakat dan bngsa.
b.      Alat untuk mengadakan perubahan, inovasi, dan perkembangan yangs ecara garis besarnya melalui pengetahuan dan skill yang baru ditemukan, dan melatih tenaga-tenaga manusia yang produktif untuk menemukan perimbangan perubahan social dan ekonomi.[5]

3.    Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupkan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Di samping itu, tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan yang terpenting lagi adalah dapat memberi penilaian atau evaluasi pada usaha-usaha pendidikan. Perumusan tujuan pendidikan Islam harus berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, diantaranya: pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu (QS Ali Imran: 191). Tujuan menciptakan manusia hanya untuk  mengabdi kepada Allah SWT. Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu meralisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT.  Kedua, memerhatikan sifat-sifat dasar manusia. Yaitu konsep manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai beberapa potensi bawaan, sifat fitrah, bakat, minat, dan karakter yang berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS al-Kahfi: 29). Ketiga, tuntutan masyarakat. Tuntutan ini bai berupa nilai-nilai pelestarian budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat, maupun pemenuhan terhadap kebutuhan dalam mengantisipasi perkembangan dunis modern. Keempat, dimensi nilai-nilai kehidupan Islam. Dimensi nilai kehidupan Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan  kesejahteraan hidup manusia di dunia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupn di akhirat. [6]
Al-Abrassy merinci tujuan akhir pendidikan Islam mnjadi:
1.      Pendidikan Akhlak;
2.      Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan di akhirat;
3.      Penguasaan ilmu;
4.      Ketrampilan bekerja dalam masyarakat.[7]
C.  Problematika Pendidikan Islam
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1.    Faktor Internal
a.    Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam.
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat Indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.

b.   Masalah Kurikulum.
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam sistem yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.  Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berpikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.

c.    Pendekatan/ Metode Pembelajaran.
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotivasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman. Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berpikir.

d.   Profesionalitas dan Kualitas SDM.
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.

e.    Biaya Pendidikan.
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.

2.  Faktor Eksternal
a.      Dichotomic.
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.

b.      To General Knowledge.
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berpikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.

c.        Lack of Spirit of Inquiry.
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.

d.      Memorisasi.
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.

e.       Certificate Oriented.
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.

D.  Problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal dan nonformal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu dan Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto
1.    Problematika pendidikan Islam dalam lembaga formal di MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu
MTs Maarif NU 01 Gandrungmangu yang berada di jalan Jenderal Soedirman No.30 Gandrungmangu. Sekolah ini mempunyai dua gedung. Gedung 1 untuk kelas VII dan gedung 2 untuk kelas VII & IX.
Visi dan Misi MTs Ma’arif NU 01 Gandrungmangu:
Visi: Terwujudnya generasi Islam yang tekun beribadah dan unggul dalam berprestasi
Misi: mengembangkan profesionalisme pelaku pendidik dengan meningkatkan pendidikan yang berciri khas keagamaan sehingga mampu bertindak arif dan bijaksana.
  Gedung 1
Gedung ini berada di barat Balai Desa Gandrungmanis, sekitar 300 meter ke barat dari arah Puskesmas Gandrungmanis. Gedung 1 ini mempunyai banyak sejarah. Pada awal berdiri entah tahun berapa, hanya ada satu bangunan dan itu pun untuk ruang belajar. Sementara ruang guru berada di salah satu rumah warga setempat.
Namun sekarang gedung 1 sudah banyak perubahan. Sekarang gedung ini sudah mempunyai 8 ruangan, 6 ruang untuk kelas belajar, 1 kelas untuk ruang guru, dan 1 kelas lagi untuk perpustakaan.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGtZCRoNHD0ZQW2-1ARbwR2dT8tpxnyqcNdKfNe08z3MIVTN8FQgJBt1_7dE4rHa3vm2RjBZYkBVtlm_C_NbvynVJrVFQX_2LoMJHMuQlVhGl0VmKGL23YScz0irROu0Bufe7A44pCW0MP/s1600/img_4795.jpg
Gedung 1
Gedung 2
Gedung ini berada di selatan Puskesmas  Gandrungmanis, sekitar 500 meter ke arah seltan dari Puskesmas. Pada awal di bangun, sekitar tahun 2005, dedung ini mempunyai 12 ruang belajar (6 ruang untuk kelas VIII dan 6 ruang untuk kelas IX), 2 ruang guru, 1 ruang klinik, 1 Lab. Computer, 1 Lab. Ipa, 2 ruang guru, 1 mushola, dan 4 wc putra putri. Gedung untuk kelas IX berada di sebelah barat yaitu gedung berlantai dua.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg13wt7rcRPrIv2Sck2sDVP_5wfcQDtxhhuhojv3OmWB2pcJgHXOt1DXskYh8BScZaG4Ie9X-_vkAoYATI7EZcned_Hg_BulYLtmO32C2WTYCe_2PpWOOtTLi9GYlVvCO6K2JDrb6N9Z4G4/s320/81980241.jpg
Gedung 2


Ekstra kulikuler
Di MTs Maarif NU 01 Gandrungmangu, terdapat berbagai ekstra kulikuler, yaitu:
Hari senin:  Ekskul Komputer denga guru pembimbing Ibu Laelatul Istiqomah, s.kom.
Hari selasa: Ekskul Tae Kwo Do dengan pembimbing Sabem dari SMP N1 Gandrungmangu, SMK Boedi Oetomo 2, dan sabem dari daerah lain.
Hari rabu:   Ekskul Marawis Hadroh dengan guru pembimbing Bpk. Faisol Ghozi, s.pd.si
Hari kamis: Ekskul Drum Band dengan guru pembimbing Bpk. A. Dwi Santosa, A.Md.
Hari jumat: Ekskul Pramuka dengan guru pembimbing Bpk. Muhtamil Fikri, A.Ma. dan Ibu Sri Darningsih, S.Pd.Ing.
Hari sabtu: Ekskul MTQ dengan pembimbing Ibu Masngudah.

Kegiatan Intra Sekolah
Kegiatan ini adalah kegiatan dari dalam sekolah yaitu OSIS dengan pembimbing Bpk. Nurrohim.








BEBERAPA FOTO TENTANG KEGIATAN DI MTs MAARIF NU 01 GANDRUNGMANGU.
Pramuka
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4Ut2i5WCLMM9sB9XL7tY6yQ_HJTzJos9DK02asMffWhn0xVgITdxrYtOPdY7kKH_OjV6iSzBQDvN98f0GO6LbpEJI0s3zbUmKL6rmidYx-PmJvUkc7dngQ7TgGdGbB-Vd9Y0gKiKyDVIM/s320/dsc_0754.jpg

Drum Band
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjY0QrwJoIEEuWZny9M8kKoFUEHBHLB2zA7fOQTrU-6_Mm5brJF72CG8-Jg6u7ooKZDn9AuxGMkuWNTJ_BB1Fz51iIDNHDO9LxnMyNCsSfvssKM0tTnecmPuycXRGnpiKkHEZH9Aq_SLs65/s320/img268.jpg
OSIS
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhMplbz6Vh7SFntk8A4fUYVxD8jDkcEY4SbFBw-0zhIGobF8l7q-NN1NbKvHJJNKfKkd_qaC8i7Kq5yKJXgb_jA0_Ae-rbi1f-B2SucU7-xs2-Xuzpj7_IOnrsirbsHGQ2burMIbFRfXD1N/s1600/DSCN0527.JPG.jpg
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis pada hari selasa tanggal 4 April 2017 dengan nara sumber guru, diantaranya bapak Nurrohim, M. Pd. I dan bapak Imrorrurrohman S. Pd. I. penulis memperoleh hasil bahwa di Madrasah tersebut ditemukan berbagai problem, diantaranya:
a.       Sarana Prasarana, di Madrasah tersebut sarana prasarana untuk meningkatkan kualitas pembelajaran masih minim. Didapati di Madrasah tersebut hanya memiliki 1 LCD proyektor yang digunakan bergantian. Juga masalah gedung yang terpisah tempatnya tidak menjadi satu membuat guru bolak balik dengan memakan waktu dan kurang efektis dan efisisen.
b.      Kualitas Pembelajaran, pembelajaran yang efektif khususnya materi pendidikan Islam yang menjadi keunggulan bagi madrasah sudah hamper terpenuhi, akan tetapi belum secara maksimal dikarenakan masih banyak guru yang belum mengindahkan pentingnya strategi, motode dalam pembelajaran.
c.       Motivasi siswa dalam belajar, masih kuranganya motivasi sisiwa dalam mengikuti dan mengembangkan berbagai prestasi belajar, sehingga dalam pembelajaran siswa cenderung kurang semangat walaupun hanya beberapa saja yang demikian.

2.    Problematika pendidikan Islam dalam lembaga nonformal Madrasah Diniyah Ath-thohiriyah Karangsalam Purwokerto
Seiring dengan tumbuh kembangnya Madrasah Diniyah di desa-desa, sebuah kelompok kursus Bahasa Arab kita menjelma menjadi Madrasah Diniyah Al-Mustaqbal (At-thohiriyah Ath-Thohiriyyah). Ini terjadi di dusun Parakanonje, desa Karangsalam, Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas Purwokerto. Ini berarti bahwa jumlah Madin Awaliyah di Kabupaten Banyumas bertambah, yang menurut laporan Kasi RUA Islam setempat hingga akhir 1990 baru 61 buah. Bila idialnya dalamsetiap desa ada sebuah Madin, maka di Kabupaten Banyumas dengan jumlah desanya yang lebih 300, berarti masih banyak desa yang belum ada Madrasah Diniyah.
Pada mulanya adalah sebuah kegiatan kursus Bahasa Arab untuk anak-anak yang belajar mengaji Al-Qur’an di rumah Ustadz Juwaini, yang jumlahnya tidak seberapa banyak. Tapi setelah berjalan beberapa waktu dan kemudian ditingkatkan menjadi Madrasah Diniyah Awaliyah para pengngelola menjadi kewalahan karena jumlah yang semula hanya puluhan membengkak menjadi 400 anak. Untukmenampung animo masyarakat itu, para pengurus itu akhirnya mengambil langkah-langkah yang perlu, sepertimengatur kelas-kelas darurat, menyeleksi tingkat peserta didik dan lain-lain.
Description: haflah-2006
Sebenarnya di desa itu sudah pernah ada Madrasah Diniyah tapi sudah hapir lima tahun terakhir kegiatan itu hilang dari peredaran. Entah apa sebabnya lembaga tempat belajar agama sore hari untuk anak-anak itu kemudian tiada kabar beritanya. Padahal orang tua merasa terbantu oleh adanya Madrasah Diniyah itu. Mereka merasakan besar manfaatnya Madin. Disamping anak-anak sepulang dari SD, sore harinya mereka berkesempatan menambah pelajaran agama, tapi waktu sore tidak muspro untuk main-main saja.
Muncul ide untuk menarik minat anak-anak agar lebih giat mengaji, maka sejak 5 Oktober 1989 dirintis adanya Kursus Bahasa Arab oleh sejumlah remaja setempat. Kegiatan kursus tersebut diadakan di rumah Ustadz Juwaini, seorang tokoh yang ada di Karangsalam. Kiprah anak-anak muda itu tidak mleset, kursus Bahasa Arab yang diadakan semula dengan “coba-coba” itu benar-benar telah menarik minat anak-anak yang ternyata masih tinggi minat untuk belajar mengaji. Mereka masuk kursus itu sama dengan belajar di Madrasah Diniyah yang selama ini mereka rindukan.
Pada awalnya kegiatan itu hanya diikuti oleh 30 anak, dan mereka masuknya hanya dua kali(maksudnya 2 hari) dalam seminggu. Kepada mereka disamping mereka diberikan pelajar dasar Bahasa Arab, juga juga diberikan pelajaran beribadah sepeti doa wudlu, shalat, membaca shalawat dan ditambah pelajaran dasar bahasa Inggris. Dari hari ke hari pesertanya kian bertambah, dan sekalipun rumah Ustadz Juwaini tidak bias lagi menampung tapi pihak penggelola tidak bias menolak.
Ketika pesertanya makin membengkak menjadi 60 orang anak, pihak pengngelola semakin ditantang pengetahuannya. Tempat belajar yang selama ini numpang di rumah Ustadz Juwaini, harus mencari tempat lain. Ini pertanda seberapa jauh dukungan masyarakat terhadap kegiatan pengajian tersebut.
Pindah ke Masjid bersamaan dengan meluapnya semangat anak-anak untuk ngaji, para tokoh khususnya para pemuka agama desa Karangsalam mulai memikirkan masa depan kegiatan belajar mengajar diserahakan kepada pengngelola untuk diatur dan dilakukan pentaan seperlunya, diantaranya minta petunjuk ke Kantor Depag Kabupaten atau Penilik Pendidikan Agama Islam Kecamatan setempat. Sedang masalah tempat dan kemungkinan mendirikan bangunan Madrasah menjadi pemikiran Kyai dan masyarakat setempat.
Begitulah, ketika pemintanya terus meluap karena tidak hanya anak-anak dari desa Karangsalam saja tetapi juga dari desa sekitar, dua rumah yang selama ini dijadikan tempat belajar sudah tidak mampu lagi menampung. Bagaimana jalan keluar?
Atas saran KH. Thoha Alawy, takmir Masjid Jamik Parakanonje kegiatan tersebut dipindah ke masjid muali tanggal 20 Mei 1990. sekalipun belum memenuhi syarat pendidikan yang klasikal, tapi menempatkan di masjid memang lebih luas. Pesertanyapun memang labih berkembang pula hingga mencapai 400 anak yang ada dipisah menjadi lima kelas.
Apa yang menjadi pemikiran para kyai dan tokoh masyarakat setempat, alhamdulillah secara bertahap dapat diwujudkan. Pada 10 Maret 1991 telah dilakukan peletakan batu pertama pembangunan gedung Madrasah Diniyah Ath-Thohiriyyah “Al-Mustaqbal”. Upacara sederhana itu disaksikan oleh pejabat dan sesepuh tingkat desa dan Kecamatan. Diharapkan usaha gotong royong masyarakat itu akan segera berhasil menenmpatkan murid-murid Madin “Al-Mustaqbal” ke kelas yang memadahi. Dan selanjutnya akan dilakukan pembenahan di bidang kurikulum untuk menyesuaikan dengan Keputusan Menteri Agama No 3 Tahun 1983 tentang kurikulum Madrasah Diniyah.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada hari senin 3 April 2017 melalui nara sumber yaitu mba Dian Furhati yang merupakan pengurus dalam beidang pendidikan khususnya Madrasah Diniyah, diperoleh bahwa di madrsah diniyah pondok tersebut mempunyai beberapa problem, diantaranya:
a.      Sarana Prasarana, masih kurangnya sarana prasarana untuk menunjang pembelajaran di Madrasah tersebut, seperti perpustakaan yang kitab-kitabnya belum kompit, tidak terjangkaunya toko kitab yang lengkap karena untuk membeli kitab yang digunakan dalam pembelajaran terkadang harus membeli di Jawa Timur.
b.      Ustadz/ Pendidik, ustadz di madrasah tersebut ada beberapa yang di laju dari rumahnya yang jauh seperti Purbalingga, Ajibarang, Kesugihan. Sehingga kurang efektif pembelajaran tersebut apabila Ustadz terlambat atau bahkan tidak hadir.
c.       Santri/ Peserta didik, dikarenakan jadwal kegiatan santri dari pagi ada yang sekolah maupun kuliah menjadikan beberapa santri ketika jadwal mengaji di madrasah kurang vit, ada yang mengantuk, dll.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu pendidikan Islam adalah Ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia, ajaran itu dirumuskan berdasrkan dan bersumber pada Al-Qur’am dan Al-Hadits, serta akal.
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tanpa batas. Hal ini karena haikat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsensus universal yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya
Fungsi pendidikan Islam adalah menyiapkan segala fasilitas yang dapat memunginkan tugas-tugas pendidikan Islam tersebut tercapai dan berjaan dengan lancar. Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan. Walaupun demikian, pendidikan Islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Di Madrasah Tsanawiyah Ma’arif NU 01 Gandrungmangu ditemukan berbagai problem, diantaranya:
a.       Sarana Prasarana,
b.      Kualitas Pembelajaran,
c.       Motivasi siswa dalam belajar
Madrasah Diniyah podok pesantren Ath-Thihiriyyah mempunyai beberapa problem, diantaranya:
a.      Sarana Prasarana,
b.      Ustadz/ Pendidik,
c.       Santri/ Peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul, Dkk. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
 



[1] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006). Hlm 10.
[2] Ahmad tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Hlm. 12.
[3] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam,… Hlm 12-20.
[4] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam,… Hlm. 51-52.
[5] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam,… Hlm. 68-69.
[6] Abdulllah Mujib, dkk. Ilmu Pendidikan Islam,… Hlm. 71-72.
[7] Ahmad tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,…. Hlm. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar